Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang memiliki riwayat pemanfaatan yang sangat panjang. Beberapa ahli sejarah yakin bahwa batubara pertama kali digunakan secara komersial di Cina. Ada laporan yang menyatakan bahwa suatu tambang di timur laut Cina menyediakan batu bara untuk mencairkan tembaga dan untuk mencetak uang logam sekitar tahun 1000 SM. Bahkan petunjuk paling awal tentang batubara ternyata berasal dari filsuf dan ilmuwan Yunani yaitu Aristoteles, yang menyebutkan adanya arang seperti batu. Abu batu bara yang ditemukan di reruntuhan bangunan bangsa Romawi di Inggris juga menunjukkan bahwa batubara telah digunakan oleh bangsa Romawi pada tahun 400 SM.
Catatan sejarah dari Abad Pertengahan memberikan bukti pertama penambangan batu bara di Eropa, bahkan suatu perdagangan internasional batu bara laut dari lapisan batu bara yang tersingkap di pantai Inggris dikumpulkan dan diekspor ke Belgia. Selama Revolusi Industri pada abad 18 dan 19, kebutuhan akan batubara amat mendesak. Penemuan revolusional mesin uap oleh James Watt, yang dipatenkan pada tahun 1769, sangat berperan dalam pertumbuhan penggunaan batu bara. Oleh karena itu, riwayat penambangan dan penggunaan batu bara tidak dapat dilepaskan dari sejarah Revolusi Industri, terutama terkait dengan produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan kapal uap.
Namun tingkat penggunaan batubara sebagai sumber energi primer mulai berkurang seiring dengan semakin meningkatnya pemakaian minyak. Dan akhirnya, sejak tahun 1960 minyak menempati posisi paling atas sebagai sumber energi primer menggantikan batubara. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa batubara akhirnya tidak berperan sama sekali sebagai salah satu sumber energi primer.
Krisis minyak pada tahun 1973 menyadarkan banyak pihak bahwa ketergantungan yang berlebihan pada salah satu sumber energi primer, dalam hal ini minyak, akan menyulitkan upaya pemenuhan pasokan energi yang kontinyu. Selain itu, labilnya kondisi keamanan di Timur Tengah yang merupakan produsen minyak terbesar juga sangat berpengaruh pada fluktuasi harga maupun stabilitas pasokan. Keadaan inilah yang kemudian mengembalikan pamor batubara sebagai alternatif sumber energi primer, disamping faktor ・faktor berikut ini:
Catatan sejarah dari Abad Pertengahan memberikan bukti pertama penambangan batu bara di Eropa, bahkan suatu perdagangan internasional batu bara laut dari lapisan batu bara yang tersingkap di pantai Inggris dikumpulkan dan diekspor ke Belgia. Selama Revolusi Industri pada abad 18 dan 19, kebutuhan akan batubara amat mendesak. Penemuan revolusional mesin uap oleh James Watt, yang dipatenkan pada tahun 1769, sangat berperan dalam pertumbuhan penggunaan batu bara. Oleh karena itu, riwayat penambangan dan penggunaan batu bara tidak dapat dilepaskan dari sejarah Revolusi Industri, terutama terkait dengan produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan kapal uap.
Namun tingkat penggunaan batubara sebagai sumber energi primer mulai berkurang seiring dengan semakin meningkatnya pemakaian minyak. Dan akhirnya, sejak tahun 1960 minyak menempati posisi paling atas sebagai sumber energi primer menggantikan batubara. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa batubara akhirnya tidak berperan sama sekali sebagai salah satu sumber energi primer.
Krisis minyak pada tahun 1973 menyadarkan banyak pihak bahwa ketergantungan yang berlebihan pada salah satu sumber energi primer, dalam hal ini minyak, akan menyulitkan upaya pemenuhan pasokan energi yang kontinyu. Selain itu, labilnya kondisi keamanan di Timur Tengah yang merupakan produsen minyak terbesar juga sangat berpengaruh pada fluktuasi harga maupun stabilitas pasokan. Keadaan inilah yang kemudian mengembalikan pamor batubara sebagai alternatif sumber energi primer, disamping faktor ・faktor berikut ini:
- Cadangan batubara sangat banyak dan tersebar luas.
Diperkirakan terdapat lebih dari 984 milyar ton cadangan batubara terbukti (proven coal reserves) di seluruh dunia yang tersebar di lebih dari 70 negara. Dengan asumsi tingkat produksi pada tahun 2004 yaitu sekitar 4.63 milyar ton per tahun untuk produksi batubara keras (hard coal) dan 879 juta ton per tahun untuk batubara muda (brown coal), maka cadangan batubara diperkirakan dapat bertahan hingga 164 tahun. Sebaliknya, dengan tingkat produksi pada saat ini, minyak diperkirakan akan habis dalam waktu 41 tahun, sedangkan gas adalah 67 tahun. Disamping itu, sebaran cadangannya pun terbatas, dimana 68% cadangan minyak dan 67% cadangan gas dunia terkonsentrasi di Timur Tengah dan Rusia.
- Negara-negara maju dan negara-negara berkembang terkemuka memiliki banyak cadangan batubara.
Berdasarkan data dari BP Statistical Review of Energy 2004, pada tahun 2003, 8 besar negara ・negara dengan cadangan batubara terbanyak adalah Amerika Serikat, Rusia, China, India, Australia, Jerman, Afrika Selatan, dan
Ukraina.
Ukraina.
- Batubara dapat diperoleh dari banyak sumber di pasar dunia dengan pasokan yang stabil.
- Harga batubara yang murah dibandingkan dengan minyak dan gas.
- Batubara aman untuk ditransportasikan dan disimpan.
- Batubara dapat ditumpuk di sekitar tambang, pembangkit listrik, atau lokasi sementara.
- Teknologi pembangkit listrik tenaga uap batubara sudah teruji dan handal.
- Kualitas batubara tidak banyak terpengaruh oleh cuaca maupun hujan.
- Pengaruh pemanfaatan batubara terhadap perubahan lingkungan sudah dipahami dan dipelajari secara luas, sehingga teknologi batubara bersih (clean coal technology) dapat dikembangkan dan diaplikasikan.
Melihat pemaparan di atas, dapat dimengerti bahwa peranan batubara dalam penyediaan kebutuhan energi sangatlah penting. Disini penulis tidak akan membahas lebih jauh tentang hal tersebut, tapi akan mengenalkan tentang batubara dan parameter umum yang menjadi penilaian kualitas batubara.
Pembentukan BatubaraBatubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan pembatubaraan (coalification).
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).
Gambar 1. Proses Terbentuknya Batubara
(Sumber: Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, 2004)
(Sumber: Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, 2004)
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka batu bara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu bara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.
Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini ditunjukkan contoh analisis dari masing --masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan pembatubaraan.
Tabel 1. Contoh Analisis Batubara (daf based)
(Sumber: Sekitan no Kisou Chishiki)
(Sumber: Sekitan no Kisou Chishiki)
Data-data di atas apabila ditampilkan dalam bentuk grafik hasilnya adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Hubungan Tingkat
Pembatubaraan - Kadar Unsur Utama
Klasifikasi batubara
berdasarkan tingkat pembatubaraan biasanya menjadi indikator umum untuk
menentukan tujuan penggunaannya. Misalnya, batubara ketel uap atau batubara
termal atau yang disebut steam coal, banyak digunakan untuk bahan bakar
pembangkit listrik, pembakaran umum seperti pada industri bata atau genteng,
dan industri semen, sedangkan batubara metalurgi (metallurgical coal
atau coking coal) digunakan untuk keperluan industri besi dan baja serta
industri kimia. Kedua jenis batubara tadi termasuk dalam batubara bituminus.
Adapun batubara antrasit digunakan untuk proses sintering bijih mineral, proses
pembuatan elektroda listrik, pembakaran batu gamping, dan untuk pembuatan
briket tanpa asap.
Dalam pemanfaatannya, batubara harus diketahui terlebih dulu kualitasnya. Hal
ini dimaksudkan agar spesifikasi mesin atau peralatan yang memanfaatkan
batubara sebagai bahan bakarnya sesuai dengan mutu batubara yang akan
digunakan, sehingga mesin-mesin tersebut dapat berfungsi optimal dan tahan
lama.
Secara umum, parameter kualitas batubara yang sering digunakan adalah kalori,
kadar kelembaban, kandungan zat terbang, kadar abu, kadar karbon, kadar sulfur,
ukuran, dan tingkat ketergerusan, di samping parameter lain seperti analisis
unsur yang terdapat dalam abu (SiO2, Al2O3, P2O5,
Fe2O3, dll), analisis komposisi sulfur (pyritic
sulfur, sulfate sulfur, organic sulfur), dan titik leleh abu (ash fusion
temperature).
Mengambil contoh pembangkit listrik tenaga uap batubara (Gambar 1),
pengaruh-pengaruh parameter di atas terhadap peralatan pembangkitan listrik
adalah sebagai berikut:
1. Kalori (Calorific Value atau CV, satuan cal/gr atau kcal/kg)
CV sangat berpengaruh terhadap pengoperasian pulveriser/mill, pipa
batubara, dan windbox, serta burner. Semakin tinggi CV maka
aliran batubara setiap jam-nya semakin rendah sehingga kecepatan coal feeder
harus disesuaikan.
Untuk batubara dengan kadar kelembaban dan tingkat ketergerusan yang sama, maka
dengan CV yang tinggi menyebabkan pulveriser akan beroperasi di bawah
kapasitas normalnya (menurut desain), atau dengan kata lain operating ratio-nya
menjadi lebih rendah.
Gambar 1.
Pembangkit listrik tenaga uap batubara
(sumber: The coal resource, 2004)
2. Kadar kelembaban (Moisture, satuan persen)
Hasil analisis untuk kelembaban terbagi menjadi free moisture (FM) dan inherent
moisture (IM). Adapun jumlah dari keduanya disebut dengan total moisture
(TM). Kadar kelembaban mempengaruhi jumlah pemakaian udara primernya. Batubara
berkadar kelembaban tinggi akan membutuhkan udara primer lebih banyak untuk
mengeringkan batubara tersebut pada suhu yang ditetapkan oleh output
pulveriser.
3. Zat terbang (Volatile Matter atau VM, satuan persen)
Kandungan VM mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Penilaian
tersebut didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon (fixed
carbon) dengan zat terbang, yang disebut dengan rasio bahan bakar (fuel
ratio).
Semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah karbon di dalam batubara
yang tidak terbakar juga semakin banyak. Jika perbandingan tersebut nilainya
lebih dari 1.2, maka pengapian akan kurang bagus sehingga mengakibatkan
kecepatan pembakaran menurun.
4. Kadar abu (Ash content, satuan persen)
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan
daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya
mencapai 80 persen dan abu dasar sebanyak 20 persen. Semakin tinggi kadar abu,
secara umum akan mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan, dan
korosi peralatan yang dilalui.
5. Kadar karbon (Fixed Carbon atau FC, satuan persen)
Nilai kadar karbon diperoleh melalui pengurangan angka 100 dengan jumlah kadar
air (kelembaban), kadar abu, dan jumlah zat terbang. Nilai ini semakin
bertambah seiring dengan tingkat pembatubaraan. Kadar karbon dan jumlah zat
terbang digunakan sebagai perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu
berupa nilai fuel ratio sebagaimana dijelaskan di atas.
6. Kadar sulfur (Sulfur content, satuan persen)
Kandungan sulfur dalam batubara terbagi dalam pyritic sulfur, sulfate sulfur,
dan organic sulfur. Namun secara umum, penilaian kandungan sulfur dalam
batubara dinyatakan dalam Total Sulfur (TS). Kandungan sulfur berpengaruh
terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi pada elemen pemanas udara,
terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari pada titik embun sulfur, di
samping berpengaruh terhadap efektivitas penangkapan abu pada peralatan electrostatic
precipitator.
7. Ukuran (Coal size)
Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus (pulverized coal
atau dust coal) dan butir kasar (lump coal). Butir paling halus
untuk ukuran maksimum 3 milimeter, sedangkan butir paling kasar sampai dengan
ukuran 50 milimeter.
8. Tingkat ketergerusan (Hardgrove Grindability Index atau HGI)
Kinerja pulveriser atau mill dirancang pada nilai HGI tertentu.
Untuk HGI lebih rendah, kapasitasnya harus beroperasi lebih rendah dari nilai
standarnya pula untuk menghasilkan tingkat kehalusan (fineness) yang
sama.
Penutup
Pengetahuan tentang batubara dan manfaatnya, diharapkan tidak hanya dipandang
sebagai komoditas belaka saja, tapi yang lebih penting adalah batubara
merupakan salah satu sumber daya strategis bagi keamanan energi di dalam
negeri.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan batubara yang
besar, yaitu sekitar 38,8 milyar ton dimana 70 persen merupakan batubara muda
dan 30 persen sisanya adalah batubara kualitas tinggi. Potensi ini hendaknya
disadari oleh segenap lapisan masyarakat sehingga pengelolaan batubara secara
optimal untuk kepentingan bangsa dapat terus dipantau dan diperhatikan
bersama-sama.
Bahan bacaan
1. JCOAL, Coal Science Handbook, Japan Coal Energy Center, 2005.
2. JCOAL, Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, Japan Coal Energy Center, 2004.
3. NEDO, Tankou Gijutsu Ippan Kenshuu You Kyouzai, 2003.
4. Sekitan no Kisou Chishiki, Sekitan Shigen Kaihatsu Kabushiki Kaisha.
5. Sukandarrumidi, Batubara dan Gambut, Gadjah Mada Univ. Press, 1995.
6. WCI, Coal Facts 2005, World Coal Institute, October 2005.
7. WCI, The Coal Resource, World Coal Institute, 2004.
8. WCI, The Role of Coal as an Energy Source, World Coal Institute, 2002.
9.Shigen Enerugi- Chou Sekitan Bu, Ko-ru No-to 1993 Nen Ban, Shigen Sangyou
Shinbunsha, 1993.
Imam Budi Raharjo, entrepreneur di bidang peralatan tambang batubara. Email:
imamharjo@yahoo.com